Rabu, 03 Juni 2009

MENYOAL KURIKULUM PENDIDIKAN KITA

(Telaah atas Gagalnya Misi Pendidikan

Sebagai Pusat Pengembangan Kemampuan, Nilai dan Etika)

Oleh : MOHAMMAD TAYYIB, S.Ag *

PENDAHULUAN

Hancurnya sendi-sendi nilai normatif bangsa Indonesia, tidak lepas dari peran pendidikan sebagai satu-satunya aset yang diharapkan dapat membekali generasi bangsa Indonesia dengan nilai-nilai budaya, agama, spritual, dan sains untuk selanjutnya menjadi Khalifah tuhan di muka bumi dalam rangka melestarikan kehidupan ini. Rasanya tidak ada lagi sesuatu yang dapat dibanggakan dalam pendidkan kita ketika dihadapkan pada realita prilaku generasi muda kita saat ini. Tidak lagi kita temui nuansa ilmiah, agamis, santun yang menjadi ciri khas anak usia sekolah pada era sebelum ini. Meskipun tentu saja keadaan ini tidak bisa digeneralisasikan pada semua anak didik kita. Namun satu hal yang pasti adalah mereka telah kehilangan arah dari “dermaga” sebenarnya yang dituju oleh “kapal besar” pendidikan.

Semua aspek pendidikan kemudian menjadi sorotan seluruh masyarakat indonesia. Aspek pendidikan yang dimaksud adalah guru, kurikulum, pemerintah, dan tentu saja sistem yang memayungi kegiatan pendidikan tersebut. Semua aspek tersebut bagaikan mata rantai yang tidak terpisahkan stu sama lainnya. Tidak jelas mata rantai yang mana yang harus dibenahi terlebih dahulu, atau mungkin seluruh mata rantai tersebut harus dibenahi. Menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan pendidikan, bagaikan mengurai benang kusut.

Dalam kaitannya dengan usaha membenahi masalah-masalah tersebut mungkin aspek kurikulum yang paling mendesak untuk mendapat “sentuhan” terlebih dahulu. Hal ini bukan berati aspek yang lain tidak mendesak untuk di”tinjau ulang,” namun tulisan ini akan membatasi pada aspek kurikulum saja mengingat keterbatasan ruang yang ada .

Mengapa kurikulum? Kurikulum dipandang sebagai perangkat pendidikan yang akan membawa arah pendidikan itu sendiri. Kurikulum bagaikan jarum


* Kepala MAS. Miftahul Ulum Sumberjati - Pamekasan.


kompas di tengah “gelombang” yang menimbulkan ketidak pastian seorang guru dan peserta didik di tengah “samudra” pendidikan.

PENGERTIAN DAN FUNGSI KULRIKULUM

Beberapa tokoh pendidikan mendefinisikan kurikulum sebagi berikut;

1. Ronald Doll mngatakan bahwa kurikulum adalah….all the experiences which are offered to learners under the auspices or direction of the school[1] (kurikulum meliputi semua pengalaman yang disajikan kepada murid di bawah bantuan atau bimbingan sekolah)

2. William B. Ragan memberi definisi kurikulum sebagai of the experiences of childern for which the school accept responsibilityi[2] ( Kurikulum adalah semua pengalaman murid di bawah tanggung jawab sekolah)

3. Sockett mengatakan kurikulum adalah The curriculum is look upon as being composed of all actual experience pupils have under school direction, writing a ourse of study became but small part of curriculum program[3] (kurikulum tersusun dari semua pengalaman murid yang bersifat aktual dibawah bimbingan sekolah, sedangkan mata pelajaran yang ada hanya sebagian kecil dari program kurikulum)

Dari sejumlah pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah semua pengalaman, kegiatan, dan pengetahuan murid di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau guru. Dengan demikian semua kegiatan yang dilakukan murid memberikan pengalaman belajar, yang selanjutnya akan menjadi kristal nilai yang akan dipraktekkan dalam kehidupan yang lebih luas di masyarakat.

FUNGSI KURIKULUM

Beberapa fungsi kuerikulum telah dijabarkan oleh para tokoh pedagogis, diantaranya adalah ;

Fungsi Penyesuaian. Pendidikan dilaksankan ditengah-tengah masyarakat. Sedangkan masyarakat akan senantiasa berkembang sebagai implikasi dari


[1] Ronald Doll, Curriculum Improvement Decision Making and Process, ( Boston, Ally and Bacon, 1975), 22.

[2] William B. Ragan, Modern Elementary Curriculum, (New York: Holt Rinehart and Winston, 1966),4.

[3] H Sockett, Designing The Curriculum, (London : Open Book Publishing, 1976),18.


1. pengalaman-pengalaman yang didapatkannya sepanjang waktu. Dengan demikian kurulum pendidikan harus menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat[1]

2. Fungsi Pengintegrasian. Kondisi masyarakat diwarnai dengan kemajemukan sikap individu-individu didalamnya. Pendidikan lahir untuk mendewasakan sikap individu-individu tersebut. Kurikulum harus mampu mengintegrasikan perbedaan-perbedaan yang ada untuk kemudian diarahkan pada satu tujuan, yaitu kedewasaan mental, intelektual dan spritual masing-masing individu masyarakat

3. Fungsi Pembeda (deferensiasi). Perbedaan-perbedaan yang terkandung dalam masing-masing anak didik tidak selamanya harus dinetralisir. Akan tetapi hal itu merupakan bekal dasar kompetensinya untuk dikembangkan secara maksimal. Kurikulum ditunut untuk mengaktualisasikan potensi tersebut.[2]

4. Fungsi Penyiapan. Naluri keingintahuan dan ingin berkembang yang terkandung dalam diri manusia, menyebabkan manusia tersebut ingin selalu mencoba dan menemukan pengalaman baru dalam hidupnya. Kurikulum harus menyiapkan seperangkat pengalaman yang akan mengantarkan peserta didiknya untuk menemukan proses belajar

5. Fungsi Pemilihan. Peserta didik memiliki insting untuk memilih yang terbaik dalam hidupnya, termasuk dalam hal pendidikan. Oleh karena itu rancangan kurikulum akan menjadi pertimbangan tersendiri bagi peserta didik untuk memilih pendidikan yang sesuai dengan keinginannya tersebut

6. Fungsi Diagnosis. Kurikulum akan memberikan acuan bagi guru dalam memberikan diagnosa tentang perkembangan belajar peserta didik. Hasil diagnos tersebut akan menjadi pedoman dalam memberikan langkah bimbingan dan penyuluhan.[3]

Beberapa fungsi kurikulum tesebut akan menjelaskan kepada kita bahwa kurikulum sangat dominan dalam kesuksesan pendidikan. Dengan mengacu pada


[1] Hamid Syarief, Pengembangan Kurikulum, (Surabaya: Bina Ilmu, 1996),14.

[2] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasisi Kompetensi: Konsep, Krakteristik dan Implementasi. (Bandung :Remaja Rosdakarya, 2003), 126.

[3] Hamid Syarief, Pengembangan Kurikulum, 16.


fungsi kurikulum, seorang pendidik akan memiliki wawasan yang luas dalam menjalankan tugasnya.

MENENGOK KURIKULUM PENDIDIKAN KITA SELAMA INI

Harus diakui bahwa kurikulum pendidikan Indonesia sarat dengan muatan- muatan, yang akhirnya membebani peserta didik untuk menelaah masing-masing materi pelajaran dengan baik. Dalam hal ini penulis akan mengutip tulisan Soedijarto yang membandingkan kurikulum pendidikan Indonesia dengan kurikulum pendidikan Jerman. Selanjutnya Soedijarto mengatakan :[1]

“ Kiranya perlu kita akui bahwa kurikulum kita mulai dari SD sampai perguruan tinggi terkenal sangat sarat muatan. Di SD dari kelas I sampai dengan kelas II tidak kurang dari 7 mata pelajaran dengan alokasi waktu 30 jam pelajaran setiap minggu. Sedangkan di Jerman kelas I s/d IV hanya 6 mata pelajaran dengan alokasi waktu 27 Jam dalam satu minggu. Di SD kita kelas IV s/d VI ada 10 mata pelajaran dengan alokasi waktu 42 jam setiap minggu, sedangkan di Jerman hanya 9 mata pelajaran dengan alokasi waktu 30 jam seminggu untuk kelas yang sama. Di SLTP kita kelas I s/d III masing-masing ada 12 mata pelajaran dengan alokasi waktu 42 jam, sedangkan di Jerman hanya ada 9 mata pelajaan dengan 31 jam pelajaran dalam satu minggu. Di SMU kita kelas I s/d II ada 12 mata pelajaran dengan alokasi waktu 42 jam pelajaran dalam satu minggu, sedangkan di Jerman kelas IX s/d X hanya 10 mata pelajaran dengan alokasi waktu 31 jam pelajaran. Sedangkan kelas XI-XII 8 mata pelajaran dengan 30 jam dalam satu minggu, dan kelas XIII ada 7 mata pelajaran dengan alokasi waktu 27 jam perminggu. Di Perguruan tinggi kita (S-1) banyak mahasiswa menempuh SKS diatas 20 dalam satu semester, sedangkan di Amerika (University of California) mahasiswa Undergraduate hanya boleh mengambil 16 SKS kecuali yang nilainya A semua dan mendapatkan izin dari dekan, sedangkan pada program


[1] Soedijarto “Rekonstruksi Kurikulum Untuk menunjang Berfungsinya Lembaga Pendidikan Sebagai Pusat Pembudayaan Kemampuan, nilai dan Sikap” dalam Mengurai Benang Kusut Pendidikan ; Gagasan Para Pakar Pendidikan, ed. Sjafnir Ronisef, et. al. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),130.


Pascasarjana hanya boleh mengambil 12 SKS (sekitar 3 mata kuliah) dalam satu semester.”

Gemuknya kurikulum pendidikan kita, dimungkinkan oleh perbedaan pemahaman para penyusun kurikulum dalam memahami fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam dalam pasal 3 dan 4 UU no. 2 tahun 1989 sebagai penjabaran dari Pembukaan UUD 1945. Kedua pasal tersebut berbunyi sebagai berikut : “Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional”[1] dan “Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, keperibadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”[2]

Fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut memang sangat ideal dan mungkin sangat ideal untuk memformat pendidikan yang bisa mengantar bangsa Indonesia bisa sejajar dngan bangsa-bangsa maju di dunia. Namun perwujudan dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut, tidak serta merta harus diwujudkandengan rumusan kurikulum yang sarat dengan alokasi waktu yang melelahkan pula.[3]

Berangkat dari permasalah ini, tidak ada salahnya apabila kita mencoba merekonstruksi kurikulum pendidikan nasional kita dengan memilih materi-materi yang sekiranya sesuai dengan kemampuan dan minat peseta didik.[4]

Permasalahan lain yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah bahwa pendidikan yang pengawasannya masih dibawah kendali pemerintah, akan senantiasa mengalami perubahan-perubahan kebijakan seiring bergantinya para pemegang polece pendidikan. Dengan demikian pendidikan kita tidak memiliki


[1] Pasal 3 UU. No.2 tahun 1989.

[2] Pasal 4 UU. No. 2 tahun 1989.

[3] Baca John Dewey “Anak Versus Kurikulum” dalam Menggugat Pendidikan Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis, ed. Paulo Preire. Terj. Omi Intan Naomi, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999), 224.

[4]Soedijarto “Rekonstruksi Kurikulum Untuk menunjang Berfungsinya Lembaga Pendidikan Sebagai Pusat Pembudayaan Kemampuan, nilai dan Sikap” dalam Mengurai Benang Kusut Pendidikan ; Gagasan Para Pakar pendidikan, 133.


tatanan yang baku yang mencerminkan ciri khas pendidikan Indonesia. Kurikulum sebagai bagian dari buah kebijakan pemerintah juga tidak terlepas dari “bongkar pasang” konsep. Hal ini mengesankan bahwa pendidikan berada dalam bayang-bayang politik dan kekuasaan.

Adanya perombakan-perombakan konsep pendidikan dimaksudkan untuk mencari relevansi dengan kebutuhan mayarakat. Alasan ini menjadi relevan bila saja konsep yang baru benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat. akan tetapi pada kenyataannya, bongkar pasang kebijakan tersebut lebih tampak sebagai “sensasional” para elit pendidikan. Terlepas dari kesesuaian konsep baru dengan tuntutan masyarakat, tetapi ternyata masalah pendidikan semakin betambah dan semakin sulit pemecahannya.

Menyangkut hal kebijakan kurikulum tersebut, semestinya pemerintah atau kalau mungkin lembaga pendidikan (tanpa intervensi pemerintah) merumuskan kurikulum yang bersifat abadi (baku) dan cocok untuk diterpakan sepanjang zaman, serta bisa mempridiksi permasalahan-permasalahan yang akan dihadapi mereka kelak kemudian hari.[1]

BAGAIMANA SEMESTINYA KURIKULUM PENDIDIKAN KITA SAAT INI

Kondisi masyarakat kita saat ini menuntut adanya perumusan kembali (revivalisasi) kurikulum pendidikan kita. Pengembangan kurikulum sebenarnya tidak menuntut adanya konsep yang terlalu rumit. Prinsip dasar kurikulum setidaknya harus memenuhi beberapa hal sebagai berikut ;

1. Prinsip Relevansi. Kurikulum harus disusun sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat saat ini. Hal ini dimaksudkan agar muatan kurikulum dapat menyentuh pada aspek guna dan aspek manfaat, serta dapat dijalankan sesuai dengan kebutuhan peserta didik Disamping itu relevansi juga bermakna adanya sinergi anta komponen-komponen didalamnya yang terdiri dari tujuan, isi, proses penyampaian dan evaluasi



[1] Iskandar Wiryokusumo, “Masalah pendidikan Dimasa yang Akan Datang” dalam Kumpulan Pikiran-pikiran dalam Pendidikan, ed. Iskandar Wiryokusumo dan Mandalika, (Jakarta: Rajawali, 1982), 142.


1. Prinsip Kontinuitas. Komponen-komponen kurikulum harus saling berkesinambungan antara elemen-elemen didalamnya yang terdiri atas tujuan, isi, peoses dan evaluasi. Kontinuitas juga berarti kurikulum harus berskesinambungan dari setiap jenjang pendidikan dan dari tingkat kelas pada masing-masing jenjang pendidikan

2. Prinsip Fleksibilitas. Kurikulum harus disesuaikan dengan kondisi tempat dilaksankannya pendidikan, serta kondisi peserta didik itu sendiri.[1]

Prinsip dasar kurikulum tersebut, sama sekali tidak menuntut adanya muatan mata pelajaran yang padat. Akan tetapi sebaliknya kurikulum harus dikembangkan sesuai kemampuan lembaga pendidikan itu sendiri dengan memperhatikan kondisi siswa, tenaga pengajar (guru)[2] Masyarakat dan daerah tempat dilaksanakannya lembaga pendidikan tersebut.[3] Sentralisasi pendidikan bukan berarti harus membatasi pengembangan kurikulum di daerah. Berbeda dengan pemahaman yang salah selama ini, bahwa pendidikan adalah menjadi urusan pemerintah. Akan tetapi hal yang sebenarnya adalah pendidikan dikembangkan atas dasar demokrasi yang dijalankan untuk melestarikan demokrasi itu sendiri, erat berada dalam iklim demokrasi.[4]

Gagasan Kurikulum Berbasis Kompetensi, sedikit memberi harapan terhadap efektifitas dan efisiensi kurikulum pendidikan. Pengembang KBK memfokuskan pada kompetensi tertentu, berupa paduan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat didemonstrasikan peserta didik sebagai wujud pemahaman terhadap konsep yang dipelajarinya.[5]

Muatan kurikulum yang ramping tetapi tepat sasaran akan memudahkan siswa mencapai hasil belajar yang memuaskan. Untuk mencapai kondisi seperti itu, jalan yang bisa di tempuh antara lain adalah menyerahkan kebijakan


[1] Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta,1999),278.

[2] Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses belajar Mengajar, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2000), 8.

[3] Hilda Hernandez, Multicultural Education: A Teacher’s Guide to Linking Context, Process, and Content, (Ney Jersey Ohio: Merrill Printice Hall, 2001), 91.

[4] Harold B. Alberty dan Elsie J. Alberty, Reorganizing The High School Curriculum, (New York: The Macmillan Company, 1962), 34.

[5] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, 61.


pendidikan sepenuhnya kepada masyarakat, atau paling tidak pemerintah daerah.[1] Dalam hal ini pemerintah diposisikan sebagai pasilitator dan pelindung. Masyarakat akan menciptakan iklim pasar yang kondusip terhadap kegiatan pendidikan.

PENUTUP

Permasalah pendidikan yang menimpa pendidan nasional kita diantaranya disebabkan saratnya muatan kurikulum serta adanya perubahan-perubahan kebijkan pendidikan yang tidak semestinya. Masyarakat sebagai pemilik hakiki dari pendidikan cenderung diposisikan sebagai penonton atau paling tidak konsumen yang “terpaksa” membeli “kue murah” pendidikan dikarenakan keterbatasan dana mereka untuk membeli “pizza” pendidikan (baca pendidikan luar negeri).

Kondisi semacam ini menuntut kita semua sebagai pemikir pendidikan untuk secepatnya mencari solusi yang paling aman untuk menyelamatkan aset bangsa (generasi muda) dari keterpurukan mereka dari bangsa-bangsa lain di dunia.




[1] Ana Suhaenah Suparno “ Pendidikan dalam Perspektif Otonomi Daerah” dalam Mengurai Benang Kusut Pendidikan; gagasan para Pakar pendidikan, ed.Sjafnir Ronisef, et.al. (Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2003), 77.


BIBLIOGRAPHY

Alberty, Harold B. dan Elsie J. Alberty, Reorganizing The High School Curriculum. New York: The Macmillan Company, 1962.

Dewey, John. “Anak Versus Kurikulum” dalam Menggugat Pendidikan Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis, ed. Paulo Preire. Terj. Omi Intan Naomi. Yogyakarta : Pustaka pelajar, 1999: 221-241.

Dimyati dan Mudjiono Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta,1999.

Doll, Ronald. Curriculum Improvement Decision Making and Process. Boston: Ally and Bacon, 1975.

Hernandez, Hilda. Multicultural Education: A Teacher’s Guide to Linking Context, Process, and Content. Ney Jersey Ohio: Merrill Printice Hall, 2001.

Mulyasa, E. Kurikulum Berbasisi Kompetensi: Konsep, Krakteristik dan Implementasi. Bandung :Remaja Rosdakarya, 2003.

Ragan, William B. Modern Elementary Curriculum. New York : Holt Rinehart and Winston, 1966.

Sockett, H. Designing The Curriculum. London : Open Book Publishing, 1976.

Soedijarto “Rekonstruksi Kurikulum Untuk menunjang Berfungsinya Lembaga Pendidikan Sebagai Pusat Pembudayaan Kemampuan, Nilai dan Sikap” dalam Mengurai Benang Kusut Pendidikan; Gagasan Para Pakar Pendidikan, ed. Sjafnir Ronisef. et. al. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003: 114-146.

Sudjana, Nana. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000.

Suparno, Ana Suhaenah. “Pendidikan dalam Perspektif Otonomi Daerah” dalam Mengurai Benang Kusut Pendidikan; Gagasan Para Pakar Pendidikan, ed. Sjafnir Ronisef, et. al. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003: 71-90.

Syarief, Hamid. Pengembangan Kurikulum. Surabaya: Bina Ilmu, 1996.

Wiryokusumo, Iskandar “Masalah Pendidikan Dimasa yang Akan Datang” dalam Kumpulan Pikiran-pikiran dalam Pendidikan, ed. Iskandar Wiryokusumo dan Mandalika. Jakarta: Rajawali, 1982: 135-178.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar